Facebook

Icon Icon Icon Icon Follow Me on Pinterest

Kamis, 29 Juli 2010

Memasukkan mani bukan dari suami

Masalah :
Bagaimana hukumnya memasukkan mani orang lain (bukan suami sendiri) kepada seorang perempuan yang ingin punya anak, baik dengan alat modern maupun yang lainnya (bukan dengan persetubuhan). Dan bagaimana hukum anakmya yang dihasilkan itu apabila sungguh terjadi, dan bagaimana pengertian mani mukhtarom dan ghoiru mukhtarom?

Jawab :
Mani mukhtarom adalah mani yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang dibenarkan oleh syara, seperti : keluar melalui mimpi, onani dengan tangan istri, melalui persetubuhan dengan pada vagina istri yang dibenarkan oleh syara.
Sedang mani ghoiru mukhtarom ialah mani yang keluar dengan selain cara di atas.
Adapun memasukkan mani seseorang ke dalam rahim perempuan ajnabiyah (bukan istrinya), hukumnya haram.
Tentang anak dari mani tersebut terdapat perbedaan pendapat.
1. Menuru Imam Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Khotib As Sarbini anak tersebut tidak dapat ilhaq (tidak ada nasab dengan pemilik mani) karena keluar masuknya mani harus dengan cara yang halal.
2. Menuru Imam Syamsudin Al Romli anak tersebut bisa ilhaq pada pemilik mani, bila maninya keluar dengan cara mukhtarom.

Dasar pengambilan :
1. QS. Al Baqoroh : 223

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
Istri istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlha (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang orang yang beriman.

2. QS. Al Muminun : 1 5

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1)
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)
وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3)
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4)
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5)
Artinya:
Sesungguhnya beruntung orang-orang mumin, yang sama khusu sholatnya. Dan orang-orang yang terhadap farji (kemaluan) mereka sama menjaganya kecuali atas istri-istri mereka atau atas budak (hamba sahaya) yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela.

3. Sunan Al Tirmidzi II : 299
أَخْرَجَ التّرْمُذِىِّ عَنْ رُوَيْفِعٍ بْنِ ثاَبِتٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يُسْقِ مَاءَ ه ُوَلَدَ غَيْرِهِ
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ruwaifi bin Tsabit, dari Nabi SAW. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyiramkan air (mani)nya atas benih orang lain (bukan istrinya)

4. Hikam Al Tasri wal Falsafah
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِفَلاَيَسْقِيَنَّ زَرْعَ اَخِيْهِ
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali menyiramkan (air maninya) atas lahan saudaranya.

5. Tafsir Ibnu Katsir Juz II : 326
وقال ابو بكر بن ابى الدنيا حدثنا عمار بن نصر حدثنا بقية عن ابى بكر بن ابى مريم عن قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ بْنُ اَبِى الدُّنْياَ حَدَّثَناَ عَمَّارٌ بْنُ نَصْرٍ حَدَّثَناَ بَقِيَّةُ عَنْ اَبِى بَكْرٍ بْنِ اَبِىْ مَرْيَمَ عَنِ الْهَيْثَمِ بْنِ مَالِكٍ الطَّاءِيِّ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ اَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِىْ رَحِمٍ لَا يَحِلُّ لَهُ

Abu bakar bin Abi Dunnya berkata, telah menceritakan kepada saya Umar bin Nasr, dirinya telah menceritakan kepada saya, dari Abu Bakar bin Abi Maryam, dari Hasyim bin Malik At Thoie, dari Nabi SAW. Beliau bersabda, tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi Allah dibanding dengan air mani yang ditaruh seorang laki-laki pada rahim yang tidak halal baginya.

6. Bughyatul Mustarsyidin hal : 238 239
(فائدة) قَالَ سم قَوْلُهُ مَنِّيُهُ اْلمُحْتَرَمُ اْلعِبْرَةُ فِى اْلاِحْتِرَامِ بِحَالِ خُرُوْجِهِ فَقَطْ حَتَّى لَوْخَرَجَ مِنْهُ مَنِّىٌّ بِوَجْهٍ مُحْتَرَمٍ كَمَالَوْعَلَا زَوْجَتَهُ فَاَخَذَتْهُ أَجْنَبِيَّةٌ عَاِلمَةٌ بِأنّهُ مَنّىٌّ أَجْنَبِيٌّ وَاسْتَدْخَلَتْهُ كَانَ مُحْتَرَماً تَجِبُ بِهِ اْلعِدَّةُ وَيَلْحَقُ اَباَهُ وَمِثْلُهُ مَالَوْسَاحَقَتِ امْرَأتَهُ الّتِى نَزَلَ فِيْهاَ مَاؤُهُ اَجْنَبِيَّةٌ وَنَزَلَ فِى اْلاَجْنَبِيَّةِ اَو ِاسْتَنْجَى بِحَجَرٍ فَخَرَجَ مِنْهُ مَنِىٌّ عَلَيْهِ فَاَخَذَتْهُ امْرَأةٌ وَاَدْخَلَتْ مَا عَلَيْهِ فَرْجَهَا
Artinya:
(perkataan pengarang : Manniyuhu Al Muhtarom) yang dianggap maninya yang mulia itu pada waktu keluar saja, sehingga apabila ada air mani keluar dari seorang laki-laki dengan cara mulya (muhtarom) seperti pada waktu ia menumpangi istrinya (lalu keluar mani) kemudian perempuan lain mengambilnya, dan ia mengetahui bahwa air mani itu, air mani laki-laki lain (bukan suaminya) kemudian ia berusaha memasukkan (ke vaginanya) maka itu dianggap mani muhtarom (mulya) yang denga hal itu dia wajib iddah (masa penantian) dan anak yang dihasilkan (dari mani tersebut) adalah sah (merdeka) menjadi nasab. Seandainya seorang perempuan berusaha mengeluarkan air mani suaminya yang telah ada padanya (seperti dari dijima suaminya) kemudian menetes / bertempat di vagina perempuan lain, maka air mani itu dianggap muhtarom (mulya) dan anak yang dihasilkan darinya adalah menjadi anaknya (yang punya mani).

7. Hasyiyah Al Syarwani II : 231
(قَوْلُهُ وَقْتَ اِنْزَالِهِ الخ) عِبَارَةُ الْمُغْنِىْ وَلاَبُدَّ اَنْ يَكُوْنَ مُحْتَرَمًا حَالَ اْلاِنْزَالِ وَحَالَ اْلاِدْخَالِ.
Artinya:
(perkataan pengarang : Waqta Inzalhi Ilah) naskah di dalam kitab Mughni harus (menjadi syarat) apabila mani itu muhtarom (mulya) pada waktu keluar dan waktu masuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers