Seorang
yang berhati lembut akan berdiri tercenung dan para cendikiawan akan saling
bertanya diantara mereka: “apa sebenarnya sebab-sebab dan faktor-faktor yang
telah membawa kaum Muslimin mencapai puncak dan batas tak tertandingi dalam
ketegarannya?”, “bagaimana mungkin mereka bisa bersabar menghadapi penindasan
demi penindasan yang membuat bulu roma merinding dan hati gemetar begitu
mendengarnya?”.
Melihat fenomena yang menggoncangkan jiwa ini, kami
menganggap perlunya menyinggung sebagian dari faktor-faktor dan sebab-sebab
tersebut secara ringkas dan singkat:
1. Keimanan kepada Allah
Sebab dan faktor paling utama adalah keimanan kepada Allah Ta’ala
semata dan ma’rifah kepada-Nya dengan sebenar-benar ma’rifah. Keimanan yang
tegas bila telah menyelinap ke sanubari dapat menimbang gunung dan tidak akan
goyang. Orang yang memiliki keimanan dan keyakinan seperti ini akan memandang
kesulitan duniawi sebesar, sebanyak dan serumit apapun seperti lumut-lumut yang
diapungkan oleh air bah lantas menghancurkan bendungan kuat dan benteng perkasa.
Orang yang kondisinya seperti ini, tidak mempedulikan rintangan apapun lagi
karena telah mengenyam manisnya iman, segarnya keta’atan serta cerianya
keyakinan. Allah berfirman:
“Adapun buih itu akan hilang sebagia sesuatu
yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap
di bumi”. (Q,.s.ar-Ra’d: 17)
Dari sebab utama ini, kemudian berkembang
dan beralih kepada sebab-sebab lain yang semuanya tidak lain menguatkan
ketegaran dan kesabaran tersebut seperti yang akan disebutkan selanjutnya.
2. Kepimpinan yang digandrungi oleh setiap hati
Sosok
Rasulullah adalah sosok seorang pemimpin umat Islam tertinggi. Tidak saja bagi
Umat Islam tetapi bagi seluruh manusia. Beliau memiliki postur badan yang ideal,
jiwa yang sempurna, akhlak luhur, sifat-sifat yang terhormat dan ciri fisik yang
agung. Hal ini dapat menyebabkan hati tertawan dan membuat jiwa rela berjuang
untuknya sampai tetas darah terakhir. Kesempurnaan yang dianugerahkan kepadanya
tersebut tidak pernah dianugerahkan kepada siapapun. Beliau menempati posisi
puncak dalam derajat sosial, keluhuran budi, kebaikan dan keutamaan. Demikian
pula dari sisi kesucian diri, amanah, kejujuran dan semua jalan-jalan kebaikan
tidak ada yang menandinginya. Jangankan oleh para pencinta dan shahabat karib
beliau, musuh-musuhnya pun tidak meragukan lagi hal itu. Ungkapan yang pernah
terlontarkan dari mulut beliau pastilah membuat mereka langsung meyakini
kejujurannya dan kebenarnya.
Suatu ketika, tiga orang tokoh Quraisy
berkumpul. Masing-masing dari mereka ternyata telah mendengarkan al-Qur’an
secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh dua temannya yang lain, namun
kemudian rahasia itu tersingkap. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Abu
Jahal –yang merupakan salah seorang dari ketiga orang tersebut- :
“bagaimana pendapatmu mengenai apa yang engkau dengar dari Muhammad
tersebut?”
“apa yang telah aku dengar? Memang kami telah berselisih
dengan Bani ‘Abdi Manaf dalam persoalan derajat sosial; manakala mereka makan,
kamipun makan; mereka menanggung sesuatu, kamipun ikut menanggungnya; mereka
memberi, kamipun memberi hingga akhirnya kami sejajar diatas tunggangan yang
sama (setara derajatnya-red). Kami ibarat dua kuda perang yang sedang bertaruh.
Lalu tiba-tiba mereka berkata: ‘kami memiliki nabi yang membawa wahyu dari
langit!’. Kapan kami mengetahui hal ini? Demi Allah! kami tidak akan beriman
sama sekali kepadanya dan tidak akan membenarkannya”.
Abu Jahal pernah
berkata: “wahai Muhammad! sesungguhnya kami tidak pernah memdustakanmu akan
tetapi kami mendustakan apa yang engkau bawa”. Lalu turunlah ayat: “Sebenarnya
mereka bukan mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari
ayat-ayat Allah”. (Q,.s.al-An’âm: 33).
Suatu ketika kaum Kafir
mempermainkan beliau dengan saling mengerling diantara mereka. Mereka melakukan
itu hingga tiga kali. Pada kali ketiga ini, barulah beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam menjawab: “wahai kaum Quraisy! sungguh aku datang membawakan sembelihan
untuk kalian”. Ucapan beliau ini berhasil mengalihkan konsentrasi mereka Bahkan
orang yang paling kasar diantara mereka, memberikan ucapan selamat kepada beliau
dengan sebaik-baik ucapan yang pernah beliau dapatkan.
Ketika mereka
melemparkan kotoran onta ke arah kepala beliau saat sedang sujud, beliau
mendoakan kebinasaan atas mereka. Tawa yang tadinya menyeringai di bibir mereka
berubah menjadi kegundahan dan kecemasan karena mereka yakin akan binasa.
Beliau mendoakan kebinasaan atas ‘Utbah bin Abi Lahab. Orang ini masih
yakin akan terjadinya apa yang didoakan oleh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam
terhadapnya. Maka, ketika dia melihat segerombolan singa, serta merta dia
bergumam: “Demi Allah! dia (Muhammad) telah membunuhku padahal dia berada di
Mekkah”.
Ubay bin Khalaf pernah mengancam akan membunuh beliau, namun
beliau menantangnya: “akulah yang akan membunuhmu, insya Allah”. Maka, pada
perang Uhud, tatkala beliau berhasil mencederai Ubay di bagian lehernya, yakni
goresan yang tidak terlalu melebar, Ubay berkomentar: “Sesungguhnya apa yang
diucapkannya di Mekkah di hadapanku dulu : ‘akulah yang akan membunuhmu’ telah
terjadi. Demi Allah! andai dia meludah saja ke arahku niscaya itu akan dapat
membunuhku”. Pembahasan tentang ini akan disajikan pada bahasan mendatang.
Sa’d bin Mu’adz –saat berada di Mekkah- pernah berkata kepada Umayyah
bin Khalaf: “Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda: ‘ sesungguhnya mereka –kaum Muslimin- telah memerangimu’ “.
Mendengar ini, dia tampak sangat takut sekali dan berjanji untuk tidak akan
keluar dari Mekkah.
Ketika dipaksa oleh Abu Jahal untuk berperang di
Badar, dia membeli keledai yang paling bagus di Mekkah untuk digunakannya bila
suatu ketika dapat kabur. Saat itu, isterinya berkata kepadanya: “Wahai Abu
Shafwan! Apakah engkau lupa apa yang dikatakan saudaramu dari Yatsrib
tersebut?”.
Dia menjawab: “Demi Allah! bukan demikian tetapi aku tidak
akan mau berhadapan langsung dengan mereka kecuali memang sudah dekat benar
jaraknya”.
Demikianlah kondisi musuh-musuh Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam.
Adapun kondisi para shahabat dan rekan-rekan beliau
lain lagi; kedudukan beliau di sisi mereka ibarat ruh dan jiwa dan semua urusan
beliau menempati hati dan mata mereka. Cinta yang tulus terhadap diri beliau
mengalir terhadap beliau bak aliran air ke dataran rendah. Keterpikatan hati
mereka terhadap beliau laksana tarikan magnet terhadap besi.
Oleh karena
itu, sebagai implikasi dari rasa cinta dan siap mati ini membuat mereka tidak
gentar bila leher harus terpenggal, kuku terkupas atau ditusuk oleh duri.
Suatu hari ketika di Mekkah, Abu Bakar bin Abi Quhâfah pernah diinjak
dan dipukul dengan keras. Di tengah kondisi seperti itu, ‘Utbah bin Rabi’ah
mendekatinya sembari memukulinya lagi dengan kedua terompahnya yang tebal dan
melayangkannya ke arah wajahnya. Tidak cukup disitu, dia kemudian melompat
diatas badannya dan jatuh tepat di atas perut Abu Bakar hingga wajahnya bonyok,
tidak bisa diketahui lagi mana letak hidung dari wajahnya.
Setelah itu,
dia diangkut dengan menggunakan bajunya oleh suku Bani Tamim kemudian
dicampakkan ke rumahnya. Mereka sama sekali tidak menyangsikan bahwa dia pasti
sudah tidak bernyawa. Saat hari beranjak sore, dia tersadar dan berbicara: “apa
yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”.
Mereka mencibirnya dengan lisan
mereka dan mengumpatinya, lalu berdiri dan berkata kepada ibunya, Ummul Khair :
“Terserah, apa yang akan engkau lakukan; memberinya makan atau minum”.
Ketika sang ibu hanya tinggal berdua saja dengan anaknya, dia
membujuknya agar mau makan atau minum. Tetapi, justeru sang anak malah berkata:
“apa yang terjadi terhadap diri Rasulullah?”.
Ibunya menjawab: “demi
Allah! aku tidak tahu sama sekali tentang shahabatmu itu”.
Dia berkata:
“kalau begitu, pergilah menjumpai Ummu Jamil binti al-Khaththab lalu tanyakanlah
kepadanya”.
Sang ibu pergi keluar hingga sampai ke rumah Ummu Jamil,
lantas berkata: “sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang Muhammad bin
‘Abdullah”.
Dia menjawab: “aku tidak kenal siapa Abu Bakar dan juga
Muhammad bin ‘Abdullah. Jika engkau ingin aku menyertaimu menemui anakmu, akan
aku lakukan”.
Dia menjawab: “ya”.
Akhirnya keduanya berlalu
hingga akhirnya mendapati Abu Bakar dalam keadaan terkapar tak berdaya. Ummu
Jamil mendekatinya seraya berteriak mengumumkan kepada orang banyak: “demi
Allah! sesungguhnya kaum yang melakukan tindakan ini terhadapmu adalah orang
yang fasiq dan kafir. Sungguh, aku berharap semoga Allah membalaskan untukmu
terhadap mereka”.
Abu Bakar malah berkata lagi: “apa yang terjadi
terhadap diri Rasulullah?”.
Ummu Jamil berkata: “Ini ibumu ikut
mendengarkan”.
Dia berkata: “Tidak usah khawatir terhadapnya”
Dia menjawab: “beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dalam kondisi sehat
dan bugar”.
Dia berkata lagi:”dimana beliau sekarang?”
“ada di
Dar Ibnu al-Arqam”, jawabnya.
Dia berkata lagi:”aku bersumpah kepada
Allah untuk tidak mencicipi makanan dan meminum minuman hingga aku mendatangi
Rasulullah”.
Keduanya mengulur-ulur waktu sejenak, hingga bilamana
kondisi Abu Bakar sudah tenang dan orang-orang mulai sepi, keduanya berangkat
keluar membawanya dengan dipapah. Lalu dipertemukanlah dirinya dengan
Rasulullah”.
Bentuk kecintaan yang demikian langka serta pengorbanan
hidup seperti ini akan kami bahas pada beberapa bagian dari buku ini, terutama
yang terjadi pada waktu perang Uhud dan yang terjadi terhadap Khubaib dan
semisalnya.
3. Rasa tanggung jawab
Para shahabat
menyadari secara penuh akan besarnya tanggung jawab yang dipikulkan ke pundak
manusia. Tanggung jawab ini tidak dapat dielakkan dan diselewengkan betapapun
kondisinya sebab keteledoran dan lari dari rasa tanggung jawab ini memiliki
implikasi yang sangat besar dan berbahaya daripada penindasan yang dirasakan
oleh mereka. Kerugian yang diderita oleh umat manusia secara keseluruhan bila
lari darinya, tidak dapat diukur dengan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi
akibat dari beban yang ditanggung tersebut.
4. Iman kepada Akhirat
Ini merupakan salah satu faktor yang menguatkan tumbuhnya rasa
tanggung jawab tersebut. Mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka akan
dibangkitkan kelak menghadap Rabb semesta alam, amal mereka dihisab dengan
sedetail-detailnya; besar dan kecilnya. Jadi, hanya ada dua pilihan; ke surga
yang penuh dengan kesenangan atau ke neraka Jahim yang penuh dengan azab yang
abadi.
Mereka menjalani kehidupan mereka antara rasa takut dan
pengharapan; mengharapkan rahmat Rabb mereka dan takut akan siksa-Nya.
Mereka adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
”Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut”. (Q,.s. al-Mukminûn: 60).
Mereka mengetahui bahwa dunia dengan
kesengsaraan dan kesenangan yang ada di dalamnya tidak akan bisa menyamai
sepasang sayap nyamuk (tidak ada apa-apanya-red) bila dibandingkan dengan
kehidupan di Akhirat.
Pengetahuan mereka yang kuat tentang hal inilah
yang meringankan mereka di dalam menghadapi kepayahan, kesulitan dan kepahitan
yang ada di dunia sehingga mereka tidak menyibukkan diri untuk mengoleksinya
sebanyak mungkin bahkan terbetik di hati merekapun
tidak.
bersambung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Followers
Download Artikel Islami
Kumpulan Bahtsul Masail 1
Kumpulan Bahtsul Masail 2
Kumpulan Bahtsul Masail 3
ASH-SHALAH ‘ALAA MADZHIBIL ARBA’AH
SAFINATUN NAJAA
TAHLILAN MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I
KIMIA KEBAHAGIAN (KIMIYA-U AL SA’ADAH
KUMPULAN ARTIKEL DINIYYAH NU ONLINE
SERI RISALAH-RISALAH DINIYYAH :
- Risalah Amaliyah Nahdliyah - Tiga Lembaga NU Malang
- 77 Cabang Iman dan Perinciannya - Syaikh Nawawi
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Ijtihad
- Ayat Mutasyabihat dan Kritik Terhadap Peringkatnya
- Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur’an
- Eksistensi Ruh Dalam Tinjauan Ulama Islam
- Hadits Kontradiktif dan Solusinya
- Riwayat Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
- Tanya Jawab Bersama KH. Bisri Musthofa
- Mutiara Hikmah Buya Yahya
FIQHUL AKBAR, karya Imam Abu Hanifah (150 H)
FIQHUL AKBAR, karya Imam al-Syafi’i (204 H)
HAULAL IHTIFAL BIDZIKRI MAULIDIN NABAWI ASY-SYARIF, karya Al-’Allamah As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasani.
NASEHAT INDAH ADZ-DZAHABI KEPADA IBNU TAIMIYYAH
AD-DURARUS SANIYYAH FIY BAYAANIL MAQALAATI AS-SUNNIYYAH
DAF’U SYUBAH AT-TASYBIH BI-AKAFF AT-TANZIH
Kumpulan Bahtsul Masail 2
Kumpulan Bahtsul Masail 3
ASH-SHALAH ‘ALAA MADZHIBIL ARBA’AH
SAFINATUN NAJAA
TAHLILAN MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I
KIMIA KEBAHAGIAN (KIMIYA-U AL SA’ADAH
KUMPULAN ARTIKEL DINIYYAH NU ONLINE
SERI RISALAH-RISALAH DINIYYAH :
- Risalah Amaliyah Nahdliyah - Tiga Lembaga NU Malang
- 77 Cabang Iman dan Perinciannya - Syaikh Nawawi
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Ijtihad
- Ayat Mutasyabihat dan Kritik Terhadap Peringkatnya
- Dialektika Gaya Bahasa Al-Qur’an
- Eksistensi Ruh Dalam Tinjauan Ulama Islam
- Hadits Kontradiktif dan Solusinya
- Riwayat Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
- Tanya Jawab Bersama KH. Bisri Musthofa
- Mutiara Hikmah Buya Yahya
FIQHUL AKBAR, karya Imam Abu Hanifah (150 H)
FIQHUL AKBAR, karya Imam al-Syafi’i (204 H)
HAULAL IHTIFAL BIDZIKRI MAULIDIN NABAWI ASY-SYARIF, karya Al-’Allamah As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasani.
NASEHAT INDAH ADZ-DZAHABI KEPADA IBNU TAIMIYYAH
AD-DURARUS SANIYYAH FIY BAYAANIL MAQALAATI AS-SUNNIYYAH
DAF’U SYUBAH AT-TASYBIH BI-AKAFF AT-TANZIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar