Facebook

Icon Icon Icon Icon Follow Me on Pinterest

Minggu, 14 April 2013

Isra` Dan Mi'raj (2)

Kemudian Ibn al-Qayyim menyinggung perbedaan persepsi seputar ru`yah (penglihatan) beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam terhadap Rabb-nya Tabâraka wa Ta’âla. Dia juga menyebutkan ucapan Ibn Taimiyyah mengenai hal ini, yang inti dari pendapat-pendapat yang disebutkannya tersebut menyatakan bahwa ru`yah dengan mata telanjang sama sekali tidak valid. Pendapat semacam ini tidak pernah diucapkan oleh seorang shahabatpun. Sedangkan nukilan yang berasal dari Ibnu ‘Abbas tentang ru`yah beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam secara mutlak dan ru`yah beliau dengan hati, pendapat pertama ini tidak menafikan pendapat kedua.

Ibn al-Qayyim kemudian mengomentari: “Sedangkan firman-Nya Ta’âla di dalam surat an-Najm (artinya): “Kemudian dia mendekat lalu bertambah mendekat lagi”. Ungkapan ‘mendekat’ disini bukan yang dimaksud di dalam kisah Isrâ`. Ungkapan ‘mendekat’ yang terdapat di dalam surat an-Najm tersebut adalah ‘mendekat dan bertambah mendekat’ -nya Jibril sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah dan Ibnu Mas’ûd. Arah pembicaraan di dalam ayat tersebutpun mendukungnya. Sedangkan ‘mendekat dan bertambah mendekat’ yang ada pada cerita Isrâ` adalah jelas sekali menyatakan ‘mendekat dan bertambah mendekat’ –nya Rabb Tabâraka wa Ta’âla. Di dalam surat an-Najm tidak menyinggung tentang hal itu bahkan di sana terdapat penegasan bahwa beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam melihat Jibril dalam rupa aslinya yang lain di Sidratul Muntaha. Ini adalah Jibril yang dilihat oleh Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam sebanyak dua kali dalam rupa aslinya; pertama di bumi dan kedua di Sidratul Muntaha. Wallahu a’lam. Selesai. (Demikian komentar Ibnu al-Qayyim-red).

Di dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa kejadian pembelahan dada beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam terjadi juga kali ini. Dalam perjalanan ini, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam melihat dan mengalami kejadian yang bervariasi :

Beliau ditawari susu dan khamar, lalu memilih susu. Kemudian dikatakan kepada beliau: ‘Engkau telah diberi petunjuk sesuai fithrah’. Dalam lafazh yang lain: ‘Engkau telah mengenai fithrah, sedangkan andaikata engkau mengambil khamar tentu umatmu akan sesat’. Beliau melihat 4 buah sungai di surga; dua sungai nampak dan dua lagi tersembunyi. Dua sungai yang nampak ini adalah sungai Nil dan Eufrat, yakni unsur keduanya. Sedangkan yang tidak nampak adalah dua sungai di surga. Barangkali makna melihat sungai Nil dan Eufrat tersebut adalah sebagai isyarat akan eksisnya Islam pada kedua wilayah dimana kedua sungai tersebut berada. Wallahu a’lam.

Beliau melihat malaikat Mâlik, penjaga neraka yang perawakannya tidak pernah tertawa, di wajahnya tidak terpancar kegembiraan dan keceriaan. Beliau juga, melihat surga dan neraka.

Beliau melihat para pemakan harta-harta anak yatim secara zhalim. Mereka memiliki bibir seperti bibir onta, mulut-mulut mereka dilempari dengan sepotong api dari neraka seperti batu sebesar genggaman tangan, lalu keluar dari dubur-dubur mereka.

Beliau melihat para pemakan riba yang memiliki perut-perut yang buncit. Karena kondisi ini, mereka tidak mampu untuk beranjak dari tempat mereka. Mereka dilintasi oleh keluarga Fir’aun saat akan disodorkan ke neraka lalu mereka diinjak-injak.

Beliau melihat para penzina, diantara tangan-tangan mereka terdapat daging yang gemuk dan segar dan disampingnya terdapat daging yang bernanah dan membusuk. Mereka memakan yang bernanah dan membusuk tersebut dan membiarkan yang gemuk dan segar.

Beliau melihat wanita-wanita yang suka membawa masuk para lelaki asing. Beliau melihat mereka (wanita-wanita tersebut) sedang bergelantungan pada payudara-payudara mereka.

Beliau melihat rombongan dari penduduk Mekkah sepulangnya dan ketika pergi. Beliau telah menunjukkan kepada mereka perihal onta yang melarikan diri dan meminum air milik mereka. Air minum ini ada di dalam wadah yang tertutup saat mereka tertidur, lantas si onta tersebut meninggalkan wadah tersebut dalam posisi tertutup. Hal itu telah menjadi petunjuk akan kebenaran pengakuan beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam pada pagi hari dari malam Isrâ`. Ibn al-Qayyim berkata: “Tatkala waktu pagi, Rasulullah sudah berada di tengah kaumnya, beliau memberitahukan kepada mereka perihal ayat-ayat Allah yang Agung yang telah diperlihatkan-Nya kepadanya.

Hal ini membuat pendustaan, penyiksaan dan kesadisan mereka terhadap beliau semakin menjadi. Mereka memintanya agar menyebutkan kriteria Baitul Maqdis kepada mereka, lalu Allah menampakkannya kepada beliau sehingga seakan melihatnya dengan mata telanjang. Beliau mulai menceritakan kepada mereka tentang tanda-tanda kebesaran-Nya. Mereka tidak mampu menyanggahnya dengan sesuatupun.

Lalu beliau memberitahukan kepada mereka perihal rombongan ketika beliau masih dalam perjalanan pergi dan sekembali darinya. Beliau juga memberitahukan kepada mereka perihal waktu kedatangan rombongan tersebut. Bahkan, beliau memberitahukan kepada mereka perihal rombongan sebelumnya yang mendahului rombongan tersebut. Dan memang demikianlah realitasnya, seperti yang beliau ucapkan. Namun sayang, mereka malah bertambah menghindar. Demikianlah, tipikal orang-orang zhalim yang hanya menginginkan kekufuran.

Pada momen ini, Abu Bakar dijuluki sebagai ash-Shiddiq (Orang yang benar) karena dia membenarkan peristiwa Isrâ`dan Mi’râj manakala orang-orang mendustakannya”.

Banyak ayat-ayat yang ringkas tetapi padat menjelaskan ‘illah (alasan) terjadinya rihlah (perjalanan) seperti ini, yaitu:

Firman Allah Ta’ala: “Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami”. (Q,.s. al-Isrâ`: 1)

Ini merupakan sunnatullah terhadap para Nabi-Nya, Dia Ta’ala berfirman: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan dibumi, dan ( Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin”. (Q,.s. al-An’âm: 75)

Dia Ta’ala berfirman kepada Musa: “Untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”. (Q,.s. Thâhâ: 23). Allah Ta’ala telah menjelaskan maksud irâdah-Nya dalam ayat ini pada firman-Nya sebelumnya (agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin).

Manakala pengetahuan yang didapat oleh para Nabi bersandarkan kepada penglihatan terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya –sebagaimana makna dari ayat-ayat diatas- red., maka mereka menjadi semakin bertambah yakin, keyakinan yang tak dapat diukur besarnya. Sebagaimana di dalam pepatah, “mendengar suatu berita tidak sama (orisinilitasnya-red) dengan melihat secara langsung.” Hal ini, membuat mereka sanggup menanggung resiko apapun di jalan Allah, sesuatu yang tidak pernah sanggup dilakukan oleh orang-orang selain mereka dan menjadikan semua kekuatan duniawi bagi mereka ibarat sebelah sayap nyamuk. Mereka tidak mempedulikan derita dan cobaan yang silih berganti menimpa.

Hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik sisi-sisi rihlah tersebut selayaknya dibahas di dalam buku-buku tentang rahasia-rahasia syari’ah. Akan tetapi disini ada beberapa hakikat ringan yang terpancar dari sumber-sumber rihlah yang diberkahi ini dan mengalir deras menuju taman-taman bunga Sirah Nabawiyyah.

Karenanya, saya memandang perlunya mencatat sebagian darinya secara ringkas.

Dalam surat al-Isrâ`, pembaca dapat mengetahui bahwa Allah mengisahkan tentang Isrâ` hanya dalam satu ayat saja, kemudian mulai menyebutkan kebobrokan-kebobrokan orang-orang Yahudi dan kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Setelah itu, Allah mengingatkan mereka bahwa al-Qur’an adalah memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.

Mungkin sepintas, pembaca mengira bahwa antara dua ayat pertama tersebut tidak ada kolerasinya satu sama lain padahal hakikatnya bukan demikian. Sesungguhnya, dengan gaya bahasa seperti ini, Allah Ta’ala ingin mengisyaratkan bahwa Isrâ` hanya terjadi ke Baitul Maqdis karena orang-orang Yahudi akan dicopot dari jabatan sebagai pemimpin umat manusia akibat banyaknya kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk menduduki jabatan tersebut selanjutnya. Artinya, Allah Ta’ala akan mengalihkan jabatan ini secara praktis kepada Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam sehingga pada diri beliau terkoleksi dua pusat dakwah Ibrahimiyyah sekaligus. Memang sudah saatnya terjadi peralihan kepemimpinan spritual dari satu umat ke umat yang lain, dari umat yang sejarahnya dipenuhi oleh kecurangan, khianat, dosa dan permusuhan kepada umat yang berlimpah dengan kebajikan dan kebaikan-kebaikan dimana Rasul mereka masih rileks dengan wahyu al-Qur’an yang memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus.

Akan tetapi timbul pertanyaan, bagaimana bisa terjadi peralihan kepemimpinan ini sementara Rasulullah masih berkeliling di sekitar pegunungan Mekkah karena diusir oleh sekelompok umat manusia?. Pertanyaan ini dengan sendirinya akan menyingkap tirai hakikat lainnya, yaitu rotasi Dakwah Islamiyyah ini hampir mencapai titik klimaks dan akhir untuk memulai rotasi baru yang jalannya amat berbeda dengan kondisi pertama.

Oleh karena itu, kita melihat sebagian ayat-ayat tersebut mencakup tentang peringatan nyata dan ancaman serius terhadap kaum Musyrikin dalam firman-Nya (artinya): “Dan, jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mena’ati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Dan, berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan, cukuplah Rabb-mu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya”. (Q,.s. al-Isrâ`: 16-17).

Disamping ayat-ayat seperti ini, ada lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan kepada kaum Muslimin perihal pondasi-pondasi peradaban, poin-poin serta prinsip-prinsipnya dimana kemudian terbangun suatu tatanan yang Islami. Seakan-akan mereka telah turun ke bumi untuk mengendalikan urusan-urusan mereka dari berbagai aspeknya lalu membentuk suatu unit yang mapan yang menjadi denyut nadi bagi kehidupan masyarakat. Hal ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam akan mendapatkan tempat suaka yang aman dimana disitulah semua urusannya akan eksis dan menjadi sentral bagi penyebaran dakwahnya ke seluruh penjuru dunia.

Inilah salah satu dari sekian banyak rahasia rihlah (perjalanan) yang diberkahi ini yang sedikit bersinggungan dengan kupasan kami disini yang membuat kami menyinggungnya.

Lantaran adanya hikmah seperti ini dan semisalnya, kami berpendapat bahwa momen Isrâ` hanya terjadi dalam salah satu dari dua alternatif saja; menjelang Bai’at al-‘Aqabah yang pertama atau antara dua Bai’at al-‘Aqabah tersebut, wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers