Masalah:
Darimana asalnya pelaksanaan rukat itu? Dan bagaimana hukumnya?
Jawab:
Ditafsil : boleh, jika dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan suci dari hal-hal yang dilarang. Haram, jika tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengandung larangan agama. Kufur, jika dimaksudkan untuk menyembah kepada selain Allah.
Dasar Pengambilan:
1. | I’anatut Tholibbin. Hal. 349 |
إِنْ قَصَدَ بِتَصَدُّقِ ذَلِكَ الطَّعَامِ التَّقَرُّبَ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ لِيَكْفِيَ اللهُ شَرَّ ذَلِكَ مِنَ الْجِنِّ لَمْ يَحْرُمْ ِلأَنَّهُ لَمْ يَتَقَرَّبْ لِغَيْرِ اللهِ كَمَا لاَ يَخْفَي لِلْمُصَنِّفِ . وَأَمَّا إِذَا قَصَدَ الْجِنَّ فَحَرَامٌ. بَلْ إِنْ قَصَدَ التَّعْظِيْمَ وَالْعِبَادَةَ لِمَنْ ذُكِرَ كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا قِيَاسًا عَلىَ نَصِّهَا فِي الذَّبْحِ.
Artinya:
Apabila mensodaqohkan makanan tersebut dengan tujuan mendekatkan diri (taqorub) pada Allah agar terhindar dari kejahatan jin maka tidak haram karena tidak ada taqorrub pada selain Allah, apabila ditujukan pada jin maka haram hukumnya. Bahkan apabila bertujuan mengagungkan dan menyembah pada selain Allah maka kufur karena diqiyaskan pada nashnya dalam masalah penyembelihan (dzabbi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar